Ada hal berharga yang tidak bisa dibeli oleh uang, hanya bisa dilihat oleh ketulusan
Perempuan. Manusia yang melahirkan peradaban. Menginjak tahun ke-22 hidup sebagai anak perempuan disebuah keluarga kecil. Anak dari pasutri yang menikah pada usia matang 25 (P) dan 26 (L), pendengar yang baik di keluarga. Keluargaku terdiri dari berbagai unsur budaya, Mama seorang wanita Jawa, dan Papa seorang lelaki Sumatra. Gadis pegunungan dan lelaki bebas yang hidup di pulau kecil dipertemukan di zama revolusi industri besar-besaran era Soeharto, mengadu nasib di perkotaan, dan menjadi masyarakat urban di Kabupaten Bekasi.
Pertemuan singkat, berujung pernikahan panjang 26 tahun yang diresmikan pada 12 april 1997. Pasangan kekasih yang realistis keduanya, hanya hidup di pabrik mencari uang dan menabung untuk keluarganya masing-masing. Keduanya memang anak bungsu, namun jalan hidupnya dalam memaknai kemandirian dan berdikari sangatlah berbeda. Beliau mengajarkanku makna bahwa menjadi yang paling muda harus sadar diri, tahu diri, dan berbakti.
Selama seputuh tahun terakhir ini aku melihat perbedaan prinsip yang sangat kontras antara papa dan mama, namun tetap ingin terlihat satu suara dalam mendidik anak. Tentu saja, cara didik beliau kepada kakakku dan aku berbeda! Beruntunglah aku yang dengan penuh dirawat mama, semenjak mama memutuskan untuk menjadi full-time mother. Namun sejahteralah Aa yang sejak kecil terbiasa memiliki baju mall bagus dan makan enak karena mama selalu membeli makanan bayi kakakku di Hero (Hypermart Mall Lippo Cikarang sekarang).
Sosok mama adalah perempuan penuh kesabaran, penuh pengabdia dan sangat berbakti. Panutan utamaku, entah dewasa nanti apa aku bisa seperti beliau. Perempuan anggun dengan prinsip hidupnya, prinsip orang Jawa. Sosok papa adalah lelaki penuh kasih sayang yang sangat mencintai keluarga, penuh dedikasi dan pekerja keras. Entah seberapa pahit kehidupan yang beliau lalui, tapi setiap perbuatan dan nasihatnya selalu aku ikuti, karena aku fans nomor satu papa, si cinta pertamaku.
Aku dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Sungguh aku sangat merasakan hal itu! Mungkin memang bukan orangtua yang sempurna, namun kasih sayangnya tiada tara. Sangat mengerti diriku, yang bahkan sampai saat ini aku masih berusaha mengenali diri sendiri. Aku bukan anak kompetitif yang punya jiwa ambisius, setiap kenaikan kelas atau masuk kelas unggulan cukup masuk 10 besar saja sudah cukup untukku. Aku anak cewe keras kepala yang sangat susah diberi tahu, oleh karenanya diberikan kebebasan untuk memilih. Aku si anak cengeng yang sangat takut ditinggalkan dan takut kesepian, oleh karenanya dibiarkan mencari dan membuat bahagianya sendiri.
Saat ini yang paling aku percayai adalah senjata kasih sayang itu ada. Sejauh apapun jarak, sesibuk apapun aktivitas, dan seegois apapun diri ini senjata kasih sayang itu terasa dan membentuk aku menjadi aku yang sekarang.